Senin, 12 November 2012

Nidzam al-Mahmudi ( Orang Kaya Yang Zuhud )


Ada seorang sufi, beliau bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan sangat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia sebenarnya adalah serang yang kaya raya, mempunyai kebun yang luas terbentang berhektar-hektar, tanam-tanamannya tumbuh subur mendatangkan hasil yang berlimpah ruah. Di sisi lain dia juga mengembangkan usaha dangang yang kian berkembang di beberapa kota. Dengan Bisnis yang dia kelola secara propesional, dia dapat membantu penghidupan ratusan karyawan dan keluarga yang tidak mampu. Bila di lihat secara zhahir, tingkat kemakmuran para karyawannya jauh lebih sejahtera ketimbang beliau sebagai majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa sangat bahagia dan menikmati hidupnya sepanjang perjalanan usianya.
Suatu ketika salah seorang anaknya pernah bertanya kepadanya, `Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu untuk membuatnya?.
Nidzam al-Mahmudi menjawab pertanyaan anakknya, Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati gubuk kecil seperti ini.
Pertama: Ayah berpandangan, sebesar apapun rumah kita, ternyata yang kita butuhkan hanyalah tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia hanya mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia jauh dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya di dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya.
Kedua: Ayah berpandangan, dengan menempati sebuah gubuk kecil seperti ini, kalian akan cepat menjadi dewasa, sebab dengan kondisi rumah seperti ini, tentu kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih besar. Untuk mencapai keinginan kalian itu tentu kalian akan berusaha dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian kalian menjadi anak yang mandiri dan tidak hanya mengandalkan kekayaan orang tua. Hal yang seperti itu tentu akan menjadikan kalian menjadi orang yang cepat dewasa. Ayah berharap kalian menjadi orang yang seperti itu.
Ketiga: Ayah dan ibu kalian dulu hanya berdua, suatu hari kelak akan menjadi berdua lagi setelah kalian nanti berumah tangga. Apalah artinya rumah yang besar bagi ayah dan ibu apabila pada akhirnya nanti yang menempati rumah itu hanya kami berdua. Bukankah suasana sepi di rumah yang besar itu akan terasa lebih menyiksa ?.
Kemudia anak itu lebih terkesima lagi tatkala ayahnya meneruskan kata-katanya.
Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Allah untuk segenap mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup untuk memuaskan keserakahan, walau hanya keserakahan seorang manusia.
Si anak tercenung sejenak sembari hatinya bergumam…...!  Alangkah bijaknya sikap ayah kami ini, walau nampak lugu dan polos, ternyata ia mempunyai pandangan yang dalam tentang makna kehidupan ini. Ayah adalah seorang hartawan yang kekayaannya melimpah, akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman, padahal ia memiliki karyawan yang banyak. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling sederhana. Ia tidak terlena dalam buaian harta benda, padahal semua itu dia miliki.
Tanpa disadari sang anak, air matanya berlinang dan jatuh membasahi pipinya, sambil terisak ia benamkan wajahnya di pangkuan ayahnya sambil berucap, terima kasih ayah, hari ini ananda paham tentang hakikat kehidupan ini. Ayah…….! Aku bangga pada ayah dan ibu, doakan kami agar kami mampu mencontoh kebaikan yang telah ayah dan ibu lakukan.
Sang ayah mengangkat bahu dan wajah anaknya, dipandangnya wajah anaknya dengan pandangan kasih sayang sembari berucap menambahkan nasihatnya. Anakku………! Kalian boleh mencari harta sebanyak-banyaknya, tapi manakala harta itu telah kau dapatkan gunakanlah ia untuk kebahagiaanmu di akhirat kelak, pandanglah orang yang tidak mampu yang ada disekitarmu. Apabila kelak engkau menjadi orang yang sukses, jadilah engkau sebagai perpanjangan tagan/kekuasaan Allah untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, dengan begitu, ananda akan dimuliakan manusia dan diridhai Allah.
Anakku………! Ingatlah firman Allah di dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩﴾ وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ ﴿١٠﴾ وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْساً إِذَا جَاء أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١١﴾
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Munafiqun: 9-11).

Saudaraku..................! Mari kita jadikan kisah ini sebagai i’tibar atau pelajaran bagi kita, agar kita tidak terjebak akan kemewahan hidup di dunia. Sebab, mengejar kesenangan dunia hanyalah tujuan jangka pendek semata, namun tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan akhirat. Semoga kita bisa melatih diri untuk menjadi orang-orang yang tidak terlena akan kehidupan dunia yang berakibat akan mendatangkan kesengsaraan bagi diri sendiri, terutama di akhirat kelak.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ

0 komentar:

Posting Komentar